Warga Sudan yang mengungsi akibat perang, antre untuk menerima bantuan makanan di Gedaref, Sudan (foto: dok Voa Indonesia)
HALUAN MERDEKA — Sudan kembali menjadi sorotan dunia. Negara yang dikenal memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah ini justru hidup dalam bayang-bayang konflik, krisis ekonomi, dan ketergantungan utang luar negeri.
Secara geografis, Sudan tercatat sebagai salah satu negara dengan potensi pertanian terbesar di kawasan Arab. Sekitar 175 juta hektare lahannya tergolong subur, ditambah area hutan mencapai 52 juta hektare. Kondisi ini seharusnya menjadikan Sudan sebagai kekuatan penting dalam ketahanan pangan regional maupun global.
Tak hanya itu, sektor peternakan di Sudan juga menyimpan potensi raksasa. Negara ini memiliki lebih dari 102 juta ekor ternak yang digembalakan di padang rumput alami seluas 118 juta hektare, plus curah hujan tahunan mencapai lebih dari 400 miliar meter kubik.
Dari sektor tambang, Sudan adalah salah satu produsen emas terbesar di Afrika. Produksi emasnya mencapai 105 ton per tahun, di mana sekitar 80% dihasilkan oleh penambangan swasta, berdasarkan data pemerintah.
Namun, semua kekayaan itu tidak sepenuhnya dimanfaatkan. Sejak merdeka dari Inggris pada 1956, Sudan masih kesulitan membangun fondasi ekonomi yang stabil. Konflik bersenjata berkepanjangan dan struktur pemerintahan yang lemah membuat negara ini gagal mengoptimalkan potensi alamnya.
Saat ini, Sudan juga dibebani krisis ekonomi akut. Utang luar negeri negara itu telah menyentuh 56 miliar dolar AS, dan terus meningkat. Kondisi tersebut membuat Sudan semakin sulit memaksimalkan kekayaan alamnya untuk memperkuat perekonomian nasional.
Pemerintah Sudan pun mengakui adanya kesenjangan besar antara potensi alam yang tersedia dan kemampuan negara dalam mengelolanya. Konflik internal dan instabilitas politik membuat Sudan tetap berada dalam lingkaran krisis meskipun dianugerahi sumber daya melimpah.
