![]() |
| Gambar : Ilustrasi |
HALUANMERDEKA.COM– Indonesia kini menghadapi sebuah "trilema" kritis yang akan menentukan masa depan bangsa: bagaimana secara simultan menjamin swasembada pangan, ketersediaan air bersih, dan mempercepat transisi energi di tengah gejolak global yang kian tak menentu. Tiga pilar ketahanan nasional ini saling terkait, dan kegagalan di salah satunya dapat memicu efek domino yang membahayakan stabilitas.
Pangan: Ancaman El Nino dan Ketergantungan Impor
Ketahanan pangan Indonesia terus diuji. Ancaman perubahan iklim, terutama fenomena El Nino yang menyebabkan kekeringan panjang, berulang kali menggagalkan target swasembada.
"Produksi beras kita masih rentan terhadap cuaca ekstrem. Jika gagal panen di beberapa lumbung padi utama, kita terpaksa impor," ujar Dr. Ani Lestari, seorang pakar pertanian dari Universitas Indonesia.
Ketergantungan pada impor pangan strategis seperti gandum, kedelai, dan gula juga menjadi kerentanan besar. Geopolitik global yang memanas, seperti konflik di Laut Hitam atau proteksionisme negara pengekspor, bisa dengan mudah mengganggu rantai pasok dan memicu lonjakan harga di dalam negeri. Pemerintah harus mencari cara untuk mengurangi ketergantungan ini, baik melalui diversifikasi pangan lokal maupun peningkatan produksi.
Air Bersih: Krisis di Depan Mata
Sementara pangan menjadi sorotan, krisis air bersih adalah ancaman senyap yang kian nyata. Eksploitasi air tanah yang masif, pencemaran sungai, dan deforestasi di wilayah hulu telah menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas air bersih di banyak daerah.
"Di beberapa kota besar, termasuk Jakarta, cadangan air tanah sudah kritis. Masyarakat bergantung pada air permukaan yang kualitasnya seringkali buruk dan memerlukan biaya pengolahan mahal," kata Ir. Budi Santoso, ahli hidrologi.
Tanpa pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dan investasi besar pada infrastruktur air bersih, konflik sosial dan masalah kesehatan akan semakin meningkat. Pembangunan bendungan dan revitalisasi sungai saja tidak cukup, dibutuhkan edukasi masyarakat dan penegakan hukum terhadap pencemaran.
Transisi Energi: antara Ambisi dan Realita
Indonesia telah berkomitmen pada target Net Zero Emission (NZE) pada 2060, yang menuntut percepatan transisi dari energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT). Namun, realitasnya penuh tantangan.
"Beban investasi untuk transisi energi ini sangat besar, mencapai ratusan miliar dolar," jelas Dr. Rina Kusuma, ekonom energi. "Kita butuh teknologi, pendanaan, dan kebijakan yang konsisten. Di sisi lain, kita masih bergantung pada batubara sebagai tulang punggung ekonomi."
Target bauran energi EBT sebesar 23% pada 2025 tampaknya sulit tercapai. Kenaikan harga energi fosil global memang memacu minat pada EBT, namun implementasi di lapangan masih terkendala birokrasi, perizinan, dan masalah pembebasan lahan.
Solusi yang Terintegrasi
Mengatasi trilema ini membutuhkan pendekatan terintegrasi. Kebijakan pangan, air, dan energi tidak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri.
"Pemerintah harus menyusun strategi nasional yang holistik," tegas Dr. Ani. "Misalnya, penggunaan EBT untuk irigasi hemat air bisa menjadi solusi di sektor pangan, atau pengelolaan limbah pertanian untuk menghasilkan energi."
Ketiga isu ini adalah prioritas keamanan nasional. Kegagalan dalam salah satunya berpotensi menciptakan ketidakstabilan sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Di tengah volatilitas global, kemandirian dan ketahanan di tiga sektor ini adalah kunci untuk masa depan Indonesia yang berdaulat.
