![]() |
| (Istimewa) |
Jaringan Aktivis Mahasiswa Hukum (JAMH) Sultra–Jakarta menyayangkan keputusan Danlanal Kendari yang melepas dua kapal tongkang bermuatan ore nikel milik PT Dwimitra Multiguna Sejahtera (PT DMS), meski muatan tersebut diduga berasal dari jetty ilegal yang sudah disegel Kementerian Kelautan dan Perikanan. Langkah pelepasan ini dinilai tidak mencerminkan prinsip kehati-hatian karena objek pemeriksaan justru dilepas sebelum kewajiban administrasi dipenuhi.
Ketua Umum JAMH, Muhammad Rahim, menegaskan bahwa PT DMS bukan perusahaan tanpa pelanggaran, karena sebelumnya jetty mereka di Kecamatan Lasolo, Konawe Utara, telah disegel setelah ditemukan aktivitas reklamasi dan penimbunan pantai seluas hampir 5,8 hektare tanpa izin PKKPRL, serta operasional tanpa dokumen TWAL yang menjadi dasar pemanfaatan ruang laut. JAMH menilai catatan pelanggaran ini seharusnya membuat aparat lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Selain itu, PT DMS juga disorot karena diduga melakukan aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan, termasuk pencemaran dan kerusakan kawasan mangrove di sekitar area operasional. JAMH turut menyinggung dugaan ketidakpatuhan pajak yang berpotensi menimbulkan kerugian negara, sehingga kasus ini dianggap tidak sekadar pelanggaran administratif, melainkan berpotensi masuk ranah pidana lingkungan dan fiskal.
Penindakan terhadap dua kapal tongkang ini bermula pada 25 November 2025, ketika KRI Bung Hatta (BHT-370) mengamankan TB Prima Mulia 06 dengan tongkang TK Prima Sejati 308 serta TB Nusantara 3303 dengan tongkang TK Graham 3303 di perairan Mandiodo. Keduanya memuat ore nikel milik PT DMS dan diduga berangkat dari jetty yang sedang disegel, sehingga keberangkatannya dinilai ilegal.
Pemeriksaan awal menemukan sejumlah dugaan pelanggaran, mulai dari dokumen kapal yang tidak lengkap, perpindahan posisi tanpa SPOG, aktivitas olah gerak tanpa nakhoda, hingga keberangkatan dari jetty bermasalah yang membuat operasional kapal secara hukum dianggap tidak sah. Dengan temuan ini, JAMH menilai kapal seharusnya tidak dilepas sebelum seluruh denda ditetapkan dan dibayarkan sesuai ketentuan penegakan hukum administrasi.
Keputusan Danlanal Kendari melepas kapal hanya berdasarkan “komitmen akan membayar” denda dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat. JAMH menilai langkah tersebut berpotensi menciptakan preseden buruk, karena aparat justru memberi kelonggaran kepada pihak yang tengah diduga melakukan pelanggaran berlapis, sementara penegakan hukum semestinya memastikan efek jera bagi pelaku pelanggaran.
Atas keputusan tersebut, JAMH Sultra–Jakarta mendesak pimpinan TNI AL untuk mengevaluasi Kepala Danlanal Kendari karena dianggap gagal menjaga integritas penegakan hukum di wilayah pengawasannya. Mereka juga mendesak Kejaksaan Agung RI mengusut seluruh dugaan pelanggaran PT DMS, termasuk pelanggaran ruang laut, kerusakan lingkungan, potensi kerugian negara, hingga dugaan ketidakpatuhan pajak oleh perusahaan.
JAMH meminta Dirjen Minerba ESDM untuk tidak memberikan kuota RKAB kepada PT DMS sampai seluruh persoalan hukum selesai secara tuntas, disertai penegasan agar pemerintah mencabut IUP perusahaan bila ditemukan pelanggaran berulang dan ketidakpatuhan. JAMH menegaskan bahwa kasus ini harus dikawal hingga penegakan hukum benar-benar berpihak pada kepentingan publik, keselamatan lingkungan, serta keadilan bagi masyarakat terdampak.
